Kabupaten Sinjai mempunyai nilai histories tersendiri, dibanding dengan kabupaten-kabupaten yang di Propinsi Sulawesi Selatan. Dulu terdiri dari beberapa kerajaan-kerajaan, seperti kerajaan yang tergabung dalam federasi Tellu Limpoe dan Kerajaan – kerajaan yang tergabung dalam federasi Pitu Limpoe.
Eksistensi dan identitas kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai di masa lalu semakin jelas dengan didirikannya benteng pada tahun 1557. benteng ini dikenal dengan nama BENTENG BALANGNIPA sebab didirikan di Balangnipa, yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Sinjai
Disamping itu, benteng ini pun dikenal dengan nama BENTENG TELLULIMPOE, karena didirikan secara bersama-sama oleh 3 (tiga) kerajaan yakni Lamatti, Bulo-bulo, dan Tondong, lalu dipugar oleh Belanda.
Tahun 1564 adalah tahun yang amat bersejarah bagi daerah Sinjai yang diwakili oleh Kerajaan Bulo-bulo. Ia mendapat banyak kunjungan dari dua kerajaan besar yang sedang berperang dan berebut pengaruh. Hal ini disebabkan karena letak daerah Sinjai yang berada pada daerah lintas batas dan sangat strategis bagi kedua kerajaan yakni Kerajaan Bone dan kerajaan Gowa.
Mengingat bahwa kedua kerajaan yang sedang berperang tersebut mempunyai hubungan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan Sinjai, maka Tellulimpoe dan Pitu Limpoe berupaya untuk tidak memihak atau terlibat dalam perang tersebut, bahkan dengan penuh kecerdikan dan kearifan, raja-raja di Sinjai berusaha mempertemukan pimpinanan kerajaan tersebut agar berunding dan berdamai.
Akhirnya pada bulan Pebruari 1564, Raja Bulo-bolu VI LAMAPPASOKO LAO MANOE TANRUNNA berhasil mempertemukan antara Kerajaan Gowa yang diwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMMETA dengan LA TENRI RAWE BONGKANGNGE dari Kerajaan Bone, disaksikan oleh raja-raja lain, sehingga lahirlah perjanjian perdamaian yang kemudian yang kemudian dikenal dengan PERJANJIAN TOPEKKONG atau LAMUNG PATUE RITOPEKKONG.
Disebut LAMUNG PATUE RITOPEKKONG karena perundingan ini dilaksanakan dengan upacara penanaman batu besar, bagian batu yang dikuburkan dalam-dalam dimaksudkan sebagai simbol dikuburkannya sikap-sikap keras yang merugikan
semua pihak, sedang bagian batu yang timbul sebagai simbol persatuan yang tidak mudah bergeser.
Isi PERJANJIAN TOPEKKONG adalah
Tahun 1636 orang Belanda mulai datang ke daerah Sinjai. Kerajaan-kerajaan di Sinjai menentang keras upaya Belanda untuk mengadu domba dan memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi selatan. Hal ini mencapai puncaknya dengan terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Belanda yang mencoba membujuk Kerajaan Bulo-bulo untuk melakukan perang terhadap Kerajaan Gowa. Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat tanggal 29 Pebruari 1639 bertepantan dengan tanggal 22 Ramadhan 1066 hijriah, karena rakyat Sinjai tetap berpegangan teguh pada perjanjian Topekkong.
Tahun 1824 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Vander Capellen datang dari Batavia membujuk I Cella Arung Bulo-bulo XXI agar menerima perjanjian Bongaya dan mengisinkan Belanda mendirikan Loji atau Kantor Dagang di Lappa tetapi ditolak dengan tegas. Belanda menyerang Sinjai dibawah pimpinan Jenderal Van Green dan Kolonel Biischaff. Pasukan Sinjai dibawah pimpinan Andi Mandasini dan Baso Kalaka berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Tahun 1859 Belanda dengan dipimpin Jenderal Van Swiaten kembali mengadakan serangan besar-besaran ke Sinjai, baik melalui laut maupun darat. Oleh karena kekuatan yang tidak seimbang maka akhirnya Sinjai direbut oleh Belanda.
Tanggal 15 Nopember 1861 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi dan Daerah, takluknya wilayah Tellulimpoe, Sinjai dijadikan satu wilayah pemerintahan dengan sebutan GOSTER DISTRICTEN.
Tanggal 24 Pebruari 1940, Gubernur Grote Gost menetapkan pembagian administratif untuk daerah timur termasuk Residensi Celebes, dimana Sinjai bersama-sama beberapa kabupaten lainnya berstatus sebagai Onther Afdiling Sinjai terdiri dari beberapa Adats Gemenchap, yaitu Cost Bulo-bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Bulo-bulo, Manipi dan Turungeng.
Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan dan namanya ditata sesuai kebutuhan Bala Tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng.
Dalam kancah perjuangan kemerdekaan menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945, para rakyat Kabupaten Sinjai membentuk berbagai organisasi perlawanan seperti Sumber Darah Rakyat atau SUDARA, Kris Muda dan lain-lain. Pantai-pantai yang ada di Sinjai menjadi transit bagi para Pejuang Kemerdekan yang akan ke Jawa dan sebaliknya.
Kini Kabupaten Sinjai terus berkembang menuju masa depan yang cerah dengan mottonya “SINJAI BERSATU” (Bersih, Elok, Rapi, Sehat, Aman, Tekun dan Unggul).
0 Komentar